Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ustadz, izin bertanya
apabila seorang istri haid tidak boleh dijima’ suaminya, lalu sudah tujuh hari
masa haid tetapi belum suci ustadz, apa boleh langsung berhubungan
badan dengan suami tanpa mandi wajib terlebih dahulu,
sehingga di gabung mandi wajibnya.
Mohon penjelasannya ustadz.
Dari : Fulanah
Dijawab oleh : Fastabikul Randa Ar-Riyawi حفظه الله تعالى melalui tanya jawab Kajian
Whatsapp
Wa'alaikumussalam
Warohmatullahi Wabarokatuh.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai seorang suami yang mendekati (menjima')
istrinya ketika sudah kering darah haidnya.
Imam
As-Shon'ani rohimahullah berkata di dalam tafsirnya Rowaai'ul Bayan Ayat Ahkaam
Minal Qur'an :
دل قوله تعالى : (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ)،
على أنه لاحل للرجل قربان المرأة في حالة الحيض حتى تطهر، وقد اختلف الفقهاء في
الطهر ماهو؟
Firman
Allah Ta'ala : "dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci." Bahwa tidak dihalalkan bagi
seorang suami mendekati (menjima') istrinya dalam keadaan haid hingga
istrinya tersebut suci dari haid. Dan para ulama Fiqih berbeda pendapat
mengenai ini. (Rowaai'ul Bayan Ayat Ahkaam Minal Qur'an, jilid 1 halaman 281).
Beberapa
pendapat ulama mengenai ini :
1.
Pendapat Imam Abu Hanifah.
فذهب أبو حنيفة إلى أن المراد بالطهر انقطاع الدم، فإذا انقطع
دم الحيض جاز للرجل أن يطأها قبل الغسل، إلا أنه إذا انقطع دمها لأكثر الحيض وهو
(عشرة أيام) جاز وطأها قبل الغسل، وإن كان انقطاعه قبل العشرة لم يجز حتى تغتسل أو
يدخل عليها وقت صلاة
Imam Abu
Hanifah berpendapat : Bahwa maksud suci itu adalah terputusnya darah haid. Maka
apabila darah haid telah putus (berhenti) boleh bagi suami menjima' istrinya
sebelum mandi. Dan kebolehan di sini maksudnya apabila darah haidnya sudah
berhenti setelah 10 hari, jika sudah sampai 10 hari, maka boleh menjima' istri
sekalipun belum mandi. Namun apabila darahnya berhenti sebelum 10 hari dari
masa haidnya, maka belum boleh hingga sang istri mandi wajib atau telah masuk
waktu shalat baginya. (Rowaai'ul Bayan Ayat Ahkaam Minal Qur'an, jilid 1
halaman 281-282).
Imam Abu
Hanifah membolehkan seorang suami menjima' istrinya tanpa mandi wajib ketika
darahnya sudah berhenti setelah 10 hari dari masa haidnya, sekalipun sang istri
belum mandi wajib, maka tetap boleh menjima'nya asalkan darahnya telah
berhenti.
Namun
sebelum 10 hari dari masa haidnya, maka tidak boleh menjima'nya sebelum sang
istri mandi wajib atau masuk waktu shalat baginya, artinya sudah diwajibkan
baginya untuk mengerjakan shalat.
Kenapa
Imam Abu Hanifah menekankan setelah 10 hari baru dibolehkan menjima' istrinya
sekalipun sang istri belum mandi wajib?
Karena
menurut pendapat beliau haid wanita paling lama itu adalah 10 hari, sedangkan
paling sebentar adalah 3 hari.
Imam
Ash-Shon'ani rohimahullah berkata di dalam tafsirnya Rowaai'ul Bayaan Tafsir
Ayat Ahkaam Minal Qur'an :
قال أبو حنيفة والثوري : أقله ثلاثة أيام، وأكثره عشرة
Imam Abu
Hanifah dan At-Tsauri berkata : Haid itu paling sebentar 3 hari, dan paling
lama 10 hari. (Rowaai'ul Bayaan Tafsir Ayat Ahkaam Minal Qur'an, jilid 1
halaman 281).
2.
Pendapat Jumhur (Mayoritas ulama) Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad.
وذهب الجمهور مالك والشافعي وأحمد إلى أن الطهر الذي يحل به
الجماع، هو تطهرها بالماء كطهور الجنب، وأنها لا تحل حتى ينقطع الحيض وتغتسل
بالماء
Pendapat
jumhur (Mayoritas ulama), Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berkata :
bahwa suci merupakan syarat dibolehkan jima'. Yaitu suci dengan air seperti
mandi junub. Dan tidak halal menjima' sang istri hingga darah haidnya berhenti
dan dia mandi wajib. (Rowaai'ul Bayan Tafsir Ayat Ahkaam Minal Qur'an, jilid 1
halaman 282).
Maka
menurut jumhur (Mayoritas ulama) di atas sebelum sang istri mandi wajib, maka
tidak boleh bagi suami untuk menjima' istrinya.
3.
Pendapat Thowus dan Mujahid
وذهب طاوس ومجاهد إلى أنه يكفي في حلها أن تغسل فرجها وتتوضأ
للصلاة
Pendapat
Thowus dan Mujahid : bahwa cukup bagi sang istri membasuh kemaluannya dan
berwudhu' seperti wudhu' untuk shalat, maka sudah halal bagi suaminya untuk
menjima'nya. (Rowaai'ul Bayan Tafsir Ayat Ahkaam Minal Qur'an, jilid 1 halaman
282).
Mana yang
lebih kuat pendapatnya?
Adapun
pendapat yang lebih kuat menurut kami adalah pendapat yang ke 2, yaitu pendapat
jumhur (Mayoritas ulama) yang mengatakan bahwa seorang suami boleh menjima' istrinya
apabila telah berhenti darah haid istrinya dan sudah suci, artinya sang istri
sudah mandi wajib.
Selain
itu, pendapat ini juga lebih berhati-hati, karena Islam mengedepankan
kebersihan. Dan alangkah lebih baiknya dicuci dan mandi wajib terlebih dahulu
sebelum melakukan jima' dan sebagai seorang muslim juga kita diperintahkan
untuk menjaga kebersihan.
Semoga
bisa dipahami.
Wallahu
Ta'ala a'lam.