Mahar pernikahan hukumnya wajib di dalam Islam, hal
ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً ۚ فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا
مَرِيئًا
Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap
lagi baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 4).
Musthafa Al-Bugha
rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Manhaji ‘ala Madzhabil Imaam
As-Syafi’i :
الصداق واجب على الزوج بمجرد تمام
عقد الزواج، سواء سمي في العقد بمقدار معين من المال: كألف ليرة سورية مثلاُ، أو
لم يسمِّ، حتى لو اتفق على نفيه، أو عدم تسميته، فالاتفاق باطل، والمهر لازم
Mahar hukumnya wajib bagi
suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar harta yang telah
ditentukan, seperti 1000 lira Syiria, atau tidak disebutkan, bahkan jika kedua
belah pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka
kesepakatan tersebut batal, dan mahar tetap diwajibkan. (Al-Fiqhul Manhaji ‘ala
Madzhabil Imaam As-Syafi’i, jilid 4 halaman 75).
Bolehkah Mahar Pernikahan
berupa hafalan Al-Qur’an?
Dari Sahl bin Sa’ad As-Saidy
rodhiyallahu ‘anhu berkata :
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، جِئْتُ
أَهَبُ لَكَ نَفْسِي، فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأْسَهُ، فَلَمَّا رَأَتِ الْمَرْأَةُ أَنَّهُ
لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا،
فَقَالَ: «فَهَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟» فَقَالَ: لَا، وَاللهِ يَا رَسُولَ
اللهِ، فَقَالَ: «اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا؟»
فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لَا، وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا، فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «انْظُرْ وَلَوْ خَاتِمًا مِنْ
حَدِيدٍ»، فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لَا، وَاللهِ، يَا رَسُولَ اللهِ،
وَلَا خَاتِمًا مِنْ حَدِيدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ: مَا لَهُ
رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: «مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ؟ إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا
مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ»، فَجَلَسَ
الرَّجُلُ، حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُوَلِّيًا، فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ
قَالَ: «مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟» قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ
كَذَا - عَدَّدَهَا - فَقَالَ: «تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟» قَالَ:
نَعَمْ، قَالَ: اذْهَبْ فَقَدْ مُلِّكْتَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Ada seorang wanita datang
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana dia menawarkan dirinya
untuk dinikahi oleh baginda Rasulullah. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihatnya, lalu beliau menundukkan kepalanya. Ketika wanita itu
melihat Rasulullah tidak tertarik kepadanyam, maka wanita tersebut duduk. Maka berdirilah
seorang lelaki dari sahabat dan berkata : ‘Wahai Rasulullah, jika engkau tidak
tertarik dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab : “Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?” “Tidak
demi Allah, wahai Rasulullah.” Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau
mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Laki-laki
itu pun pergi, tak berapa lama dia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan
sesuatu pun,” ujarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”
Laki-laki itu pergi lagi
kemudian tak berapa lama dia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak
mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk
wanita ini.” “Apa yang dapat kau perbuat dengan sarungmu? Jika engkau
memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia
memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”
Laki-laki itu pun duduk
hingga tatkala telah lama duduknya, dia bangkit. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan
seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.
Ketika dia telah ada di
hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa
yang kau hafal dari Al-Qur`an?” Saya hafal surah ini dan surah itu. “Benar-benar
engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. “Iya,” jawabnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata : “Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah
menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an
yang engkau hafal.” (HR. Muslim, hadist no. 1425).
Apa yang dimaksud
dengan hafalan Al-Qur’an sebagai mahar pernikahan? Apakah cukup dengan menyetor
hafalan sebelum menikah ataukah yang lainnya?
1. Imam An-Nawawi
rohimahullah berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :
وفي هذا الحديث دليل لجواز كون
الصداق تعليم القرآن وجواز الاستئجار لتعليم القرآن وكلاهما جائز عند الشافعي وبه
قال عطاء والحسن بن صالح ومالك وإسحاق وغيرهم
Hadist ini adalah dalil bolehnya
mahar berupa pengajaran Al-Qur’an dan bolehnya menyewa untuk mengajar Al-Qur’an.
Dan keduanya boleh menurut pendapat Imam Syafi’i, Atho’, Al-Hasan bin Sholeh,
Malik dan Ishaq dan selain mereka. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 9
halaman 214).
2. Imam Syaukani rohimahullah
menuqil perkataan Qadhi Iyad di dalam kitabnya Nailul Author :
قال عياض: يحتمل قوله: " بما
معك من القرآن " وجهين أظهرهما: أن يعلمها ما معه من القرآن أو مقدارا معينا
منه ويكون ذلك صداقها، وقد جاء هذا التفسير عن مالك. ويؤيده قوله في بعض طرقه
الصحيحة: فعلمها من القرآن، وعين في حديث أبي هريرة مقدار ما يعلمها وهو عشرون آية.
ويحتمل أن تكون الباء بمعنى اللام: أي لأجل ما معك من القرآن، فأكرمه بأن زوجه
المرأة بلا مهر، لأجل كونه حافظا للقرآن أو لبعضه
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata,
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “apa yang ada padamu dari Al-Qur’an” mencakup
dua tafsiran :
1. Tafsiran yang lebih
tepat, yaitu apa yang bisa kamu ajarkan dari Al-Qur’an atau kadar tertentu dari
Al-Qur’an dan menjadikan pengajaran tersebut sebagai mahar. Tafsiran ini
disebutkan juga oleh Malik, dan dikuatkan juga oleh sebagian jalan yang shahih
dari riwayat ini. Maka sang suami wajib mengajarkan Al-Qur’an sebagaimana sudah
dijelaskan. Dan dalam hadits Abu Hurairah disebutkan secara spesifik kadar ayat
yang diajarkan, yaitu 20 ayat.
2. Tafsiran yang memaknai
huruf ba’ di sini dengan makna lam, sehingga maknanya karena sebab apa
yang ada padamu dari Al-Qur’an, maka hafalan tersebut membuatmu mulia dan layak
menikahi istrimu tanpa mahar. Karena si suami adalah seorang penghafal Al-Qur’an
atau menghafal sebagiannya. (Nailul Author, jilid 6 halaman 203).
Mahar yang lebih
utama, berupa barang atau mengajarkan Al-Qur’an?
Catatan :
Nah, berdasarkan pendapat
para ulama di atas, bahwa yang dimaksud hafalan Al-Qur’an sebagai mahar adalah
dengan mengajarkan Al-Qur’an kepada istri. Mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar adalah
alternatif terakhir jika sang lelaki tidak mempunyai harta sedikitpun, karena
baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadist di atas menekankan
bahwa mahar itu berupa barang, sekalipun harga barang tersebut murah. Di dalam
hadist baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan :
انْظُرْ وَلَوْ خَاتِمًا مِنْ
حَدِيدٍ
“Carilah di rumahmu, sekalipun
hanya cincin yang terbuat dari besi”. (HR. Muslim, hadist no. 1425).
Begitulah saking utamanya barang
dari yang lainnya.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah mengatakan
:
يصح أن يجعل تعليم المرأة شيئا من
القرآن مهرا لها عند العقد عليها إذا لم يجد مالا
Sah apabila mengajarkan wanita
sesuatu dari Al-Qur’an sebagai mahar ketika akad, jika dia tidak mempunyai harta
untuk dijadikan mahar dalam pernikahan. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, jilid 19
halaman 35).
Oleh sebab itu, mahar berupa
mengajarkan Al-Qur’an itu hanya jalan akhir jika sang lelaki tidak mempunyai
harta sedikitpun. Hanya saja zaman sekarang ini tidak mungkin seorang lelaki
yang akan menikah tidak mempunyai apapun, karena biasanya jika sang lelaki
tidak mempunyai uang, maka dibantu oleh keluarganya, sehingga dia bisa membeli
mahar berupa barang untuk mempelai wanita.
Pada zaman ini begitu banyak
anak-anak muda yang pernikahannya mengikuti tren yang ada di Indonesia. Seperti
misalnya mahar surat Ar-Rohman dan surat lainnya. Mereka tidak tau bahwa di
zaman Rasulullah mengajarkan Al-Qur’an sebagai mahar itu, lelaki tersebut memang
benar-benar tidak mempunyai barang untuk dijadikan mahar. Adapun anak-anak muda
sekarang mampu membeli barang untuk dijadikan mahar, namun pihak perempuan
meminta mahar surat Al-Qur’an, itupun hanya sebatas menyetor hafalan bukan
mengajarkan kandungan surat tersebut, mulai tafsirnya, asbabun nuzul ayatnya
misalnya dan lain sebagainya.
Itulah mengapa seorang muslim
perlunya menuntut ilmu agama, terlebih ketika dia ingin menikah, paling tidak
dia mengetahui ilmu tentang pernikahan. Dengan begitu masing-masing tau hak dan
kewajiban pasangannya setelah menikah, sehingga mempersempit jalan untuk
melakukan kezaliman kepada pasangan karena tidak menjalankan hak dan kewajiban
dengan baik dan benar. Namun dengan belajar ilmu tentang pernikahan, dia mengetahui
hal itu dan mempersiapkan jauh-jauh hari sebelum pernikahan untuk menghadapinya.
Mahar boleh dengan
harga murah atau rendah jika kedua mempelai sama-sama ridho :
Imam An-Nawawi rohimahullah
berkata di dalam kitabnya Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim :
وفي هذا الحديث أنه يجوز أن يكون
الصداق قليلا وكثيرا مما يتمول إذا تراضى به الزوجان لأن خاتم الحديد في نهاية من
القلة وهذا مذهب الشافعي وهو مذهب جماهير العلماء من السلف والخلف وبه قال ربيعة
وأبو الزناد وبن أبي ذئب ويحيى بن سعيد والليث بن سعد والثوري والأوزاعي
Hadist ini menunjukkan bahwa
mahar itu boleh sedikit (harga murah/bernilai rendah) dan boleh juga banyak
(bernilai tinggi) apabila kedua pasangan saling ridho, karena cincin dari besi
menunjukkan nilai mahar yang murah. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’i dan
juga pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari salaf dan khalaf. Dan ini adalah
pendapat Robi’ah, Abu Zindad, Ibnu Abi Zi’ib, Yahya bin Sa’id, Al-Lais bin Sa’ad,
At-Tsauri dan Al-Auza’i. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim, jilid 9 halaman 213).
Kesimpulan :
1. Maksud dari mahar hafalan
Al-Qur’an adalah bukan hanya semata-mata hafalan tersebut disetorkan kepada
calon istri, akan tetapi juga diajarkan setelah menikah. Baik dari segi tafsirnya,
asbabun nuzul ayatnya dan lain sebagainya.
2. Mengajarkan Al-Qur’an
sebagai mahar itu diperbolehkan, hanya saja ini adalah alternatif terakhir.
Artinya jika mempelai lelaki tidak mempunyai harta atau barang sedikitpun untuk
dijadikan mahar. Hal inilah yang terjadi pada sahabat pada zaman Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika tidak mendapatkan barang walaupun barang
yang murah atau rendah harganya, maka barulah mengajarkan Al-Qur’an sebagai
mahar.
3. Mahar yang paling utama
menurut para ulama adalah berupa barang walaupun harganya murah. Karena baginda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat agar mencari
barang di rumahnya, walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi.
4. Tidak ada batas minimal
mahar di dalam Islam.
Imam Taqiyuddin As-Syafi’i
rohimahullah berkata di dalam kitabnya Kifaayatul Akhyar :
لَيْسَ للصداق حد فِي الْقلَّة
وَلَا فِي الْكَثْرَة بل كل مَا جَازَ أَن يكون ثمنا من عين أَو مَنْفَعَة جَازَ
جعله صَدَاقا
Tidak ada batas minimal dan
maksimal mahar. Semua yang mengandung nilai (ada harganya) ataupun bermanfaat,
maka boleh dijadikan mahar. (Kifaayatul Akhyar, jilid 1 halaman 370).
Hanya saja secara tidak
langsung beliau tetap menetapkannya, yaitu maharnya tidak kurang dari 10 dirham.
Namun itu hasil ijtihad beliau. Adapun penetapan dari hadist Nabi tidak ada.
Beliau rohimahullah
melanjutkan :
يسْتَحبّ أَن لَا ينقص عَن عشرَة
دَرَاهِم لِلْخُرُوجِ من خلاف أبي حنيفَة وَيسْتَحب أَن لَا يُزَاد على صدَاق
أَزوَاج رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم وَهُوَ خَمْسمِائَة دِرْهَم
Dianjurkan besaran mahar itu
tidak kurang dari 10 dirham untuk keluar dari khilaf (perbedaan pendapat) Imam
Abu Hanifah, dan tidak lebih dari mahar istri Rasulullah, yaitu sebesar 500
dirham. (Kifaayatul Akhyar, jilid 1 halaman 370).
5. Islam memudahkan
pernikahan. Untuk itu, pihak perempuan hendaknya tidak memberatkan lelaki dalam
urusan mahar, karena jika maharnya berat, maka kata Imam Ibnul Qayyim, itu
pertanda sedikitnya keberkahan dalam pernikahannya.
Imam Ibnul Qayyim
rohimahullah berkata di dalam kitabnya Zaadul Ma’ad :
وَتَضَمَّنَ أَنَّ الْمُغَالَاةَ
فِي الْمَهْرِ مَكْرُوهَةٌ فِي النِّكَاحِ وَأَنَّهَا مِنْ قِلَّةِ بَرَكَتِهِ
وَعُسْرِهِ
Dan berlebihan-lebihan dalam
mahar itu hukumnya makruh (dibenci) pada pernikahan. Hal ini menunjukkan
sedikitnya barokah dan sulitnya pernikahan tersebut. (Zaadul Ma’ad, jilid 5
halaman 162).
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa
Ar-Riyawi