Pertanyaan :
Assalamualaikum warahmatullahi
wabarokatuh. Maaf ustadz mau tanya, bagaimana hukum tentang kupatan atau 7
bulanan saat hamil?
Dari : Hidayatus Sholihah
Dijawab oleh : Fastabikul Randa Ar-Riyawi حفظه الله تعالى melalui tanya jawab grup Kajian
Whatsapp
Wa'alaikumussalam
Warohmatullahi Wabarokatuh.
Hukum
kupatan dalam Islam
Perlu
diketahui, bahwa Islam tidak melarang adat (kebiasaan) atau tradisi yang ada di
masyarakat. Selama adat dan tradisi masyarakat tersebut tidak bertentangan
dengan syariat Islam.
Ibnu
Taimiyah rohimahullah berkata di dalam kitabnya Majmu’ Al-Fatawa :
وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا
حَظَرَهُ اللَّهُ
Hukum
asal adat (kebiasaan) yang ada di tengah masyarakat tidak dilarang selama tidak
dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (tidak bertentangan dengan perintah
Allah). (Majmu’ Al-Fatawa, jilid 4 halaman 196).
Berdasarkan
perkataan Imam Ibnu Taimiyah di atas bahwa hukum adat ataupun tradisi itu
boleh, selama tidak bertentangan dengan perintah Allah. Akan tetapi, jika suatu
adat atau tradisi bertentangan dengan syariat Islam, maka adat tersebut tidak
boleh dilanjutkan.
Menurut yang saya tau kupatan berisi syukuran saja tanpa adanya ibadah ataupun perbuatan
yang bertentangan dengan syari'at Islam.
Untuk
itu, selama perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka
kembali kepada asal hukum tradisi/adat yaitu diperbolehkan di dalam Islam.
Hukum Selamatan 7 Bulan Kehamilan
Ketika
mendengar kata tasyakuran, atau yang lebih dikenal dengan istilah syukuran,
tentunya istilah ini tidak asing lagi di telinga kita, di Indonesia umumnya,
dan umumnya di pulau jawa. Hal semacam ini seperti sudah turun temurun.
Tasyakuran
adalah bentuk rasa syukur seseorang ketika diberikan kesenangan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala. Dan dia membuat acara syukuran seperti makan-makan dan
berdo'a bersama di rumahnya dengan mengundang masyarakat yang berada di
sekitarnya.
Hukumnya diperinci menjadi 2 bagian :
1.
Hukumnya boleh.
Tasyakuran
atau syukuran 4 atau 7 bulanan istri hukumnya boleh, jika dia hanya menganggap
bahwa dia diberikan kesempatan oleh Allah mempunyai bayi yang hidup di dalam
kandungan istrinya. Dan dia senang dengan pemberian itu, tanpa ada keyakinan
lainnya. Maka seperti ini insyaAllah dibolehkan di dalam Islam.
Dalil-dalilnya
:
1. Dalil
dari Al-Qur'an.
Allah
berfirman :
ثُمَّ سَوّٰىهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهٖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۗ
قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ
Kemudian
Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam (tubuh)nya dan
Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi) sedikit
sekali kamu bersyukur. (QS. As-Sajdah : 9).
2. Dalil
dari Hadist.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ
أَرْبَعِيْنَ يَوْمَاً نُطْفَةً، ثُمَّ يَكُوْنُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ
يَكُوْنُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ،ثُمَّ يُرْسَلُ إِلَيْهِ المَلَكُ فَيَنفُخُ
فِيْهِ الرٌّوْحَ،وَيَؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ: بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ
وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ
Sesungguhnya
setiap kalian dikumpulkan penciptaannya didalam rahim ibunya, selama 40 hari
berupa air mani yang kental, kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga,
kemudian menjadi segumpal daging selama itu, kemudian diutus kepadanya malaikat
untuk meniupkannya ruh, dan dia diperintahkan
mencatat empat kata yang telah
ditentukan : rezekinya, ajalnya, amalnya, kesulitan atau kebahagiannya. (HR.
Bukhari, hadist no. 3151).
Dua dalil
inilah yang mendorong kebolehan syukuran 4 atau 7 bulanan kandungan istri,
karena dia bahagia diberikan kenikmatan yang luar biasa, sebab anaknya
ditiupkan roh dan diberikan nyawa oleh Allah. Oleh sebab itu, bentuk rasa
syukur dan senangnya terhadap itu semua adalah dia mengundang masyarakat
di sekitarnya, kemudian dia bersedekah dengan makanan dan mereka sama-sama
berdo'a untuk keselamatan anak yang ada didalam kandungan istrinya tersebut.
Maka dari
itu menjadi boleh hukumnya jika dia hanya sebatas mengungkapkan kebahagiaan
saja, tanpa adanya keyakinan lainnya. Akan tetapi hanya semata-mata hanya mengungkapkan
rasa syukurnya kepada Allah atas pemberian nikmat dan kebahagiaan kepadanya,
makanya dia mengadakan syukuran dengan mengundang masyarakat untuk makan-makan
dan berdo'a bersama untuk keselamatan dan kesehatan bagi janin yang ada didalam
kandungan istrinya tersebut.
Bagaimana
pandangan Mazhab Syafi'i dalam hal ini?
Di dalam
kitab Al-Fiqhu 'alal Mazaahibil Arba'ah halaman 685 disebutkan :
الشافعية قالوا : يسن صنع الطعام والدعوة إليه عند كل حادث
سرور، سواء كان للعرس أوللختان أوللقدوم من السفر إلى غير ذلك مما ذكر، فليست
السنة خاصة بوليمة الطعام وكما أن الوليمة تصدق على طعام العرس، فكذلك تصدق على
غيره، ولكن صدقها على وليمة العرس أكثر
Ulama
mazhab Syafi'i berkata : Disunnahkan membuat makanan ketika ada sesuatu yang
membahagiakan, baik walimah urs (pernikahan), walimah khitan maupun walimah
ketika baru datang dari safar (perjalanan jauh). Dan yang disunnahkan itu bukan
hanya bersedekah makanan saja sebagaimana di acara walimah urs (pernikahan),
akan tetapi dia juga boleh bersedekah dengan selain makanan, akan tetapi yang
paling banyak dilakukan adalah sedekah makanan di walimah urs (pernikahan).
Nah,
ulama mazhab Syafi'i mensunnahkan untuk membuat makanan setiap ada kejadian
atau sesuatu yang membahagiakan.
Dan
ketika umur janin 4 atau 7 bulan dan ditiupkan roh kedalam janin tersebut, maka
suami istri tersebut merasa senang ketika itu. Oleh sebab itu mereka mengadakan
syukuran 4 atau 7 bulanan janin yang ada didalam kandungan istrinya tersebut.
Inilah
dalil-dalil mereka, sehingga mereka mengadakan tasyakuran 4 atau 7 bulanan
istri.
Sebenarnya
ini adalah sesuatu yang bagus, akan tetapi jangan sampai berkeyakinan yang
dimana keyakinannya itu bertentangan dengan Syari'at Islam.
2.
Hukumnya Haram.
Mengadakan
tasyakuran menjadi haram hukumnya jika :
1.
Menganggap bahwa syukuran 4 atau 7 bulanan janin di dalam kandungan istri
dianggap sesuatu yang wajib. Padahal tidak ada dalil yang mewajibkannya.
2. Jika
dia berkeyakinan bahwa jika tasyakuran tidak dilaksanakan, maka anaknya nanti
akan begini dan begini, maka ini jatuh kepada tathayyur dan hukumnya haram di
dalam Islam.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ
Tidak ada
keyakinan adanya penularan penyakit, tidak ada menganggap sial sesuatu hingga
tidak jadi beramal. (HR. Bukhari, hadist no. 5312).
Allah
berfirman :
قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا
شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ
وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
Katakanlah
: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula)
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi
peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS.
Al-Araf : 188).
Ini
adalah dalil bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan manfaat dan mudorot,
kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jika dia
berkeyakinan bahwa jika dia tidak mengadakan syukuran 4 atau 7 bulanan
kandungan istrinya bisa mendatangkan mudorot pada janin di dalam kandungan
misalnya, maka hukum mengadakannya menjadi haram hukumnya dia telah menduakan
Allah, kenapa? Karena dia yakin bahwa makhluk bisa mendatangkan manfaat dan
mudorot. Padahal hanya Allah yang mampu mendatangkan manfaat dan mudorot.
3.
Berkeyakinan menaroh kendi di depan rumah pada acara 4 atau 7 bulanan tersebut,
dengan harapan jika kendi itu ditendang jama'ah dan pecah, maka anaknya
laki-laki, dan jika kendi itu masih utuh, maka anaknya perempuan.
Nah,
keyakinan seperti ini tidak dikenal didalam Islam dan harus ditinggalkan.
Karena tidak ada satupun dalil yang nenerangkan tentang hal ini.
Dan jika
dia meninggalkan yang 3 macam ini, kemudian dia hanya sekedar senang saja dan
bersyukur tanpa adanya keyakinan lainnya, maka insyaAllah dibolehkan
berdasarkan perkataan ulama mazhab Syafi'i di atas.
Semoga
bermanfaat.
Wallahu
Ta'ala a'lam.