Islam mengatur seluk beluk dalam pernikahan, mulai dari
rukun nikah, syarat dan tata cara pelaksanaan aqad nikahnya. Menikah dengan
siapapun dan dari suku ataupun negara manapun diperbolehkan di dalam Islam,
asalkan sama-sama beragama Islam dan telah baligh dan berakal.
Namun, ada beberapa daerah di pulau Sumatera, khususnya di
Provinsi Riau, di mana salah satu adat beberapa daerah di Riau melarang pernikahan
sesuku. Apakah maksudnya sesama orang Melayu dilarang menikah? Ooo tidak, tentu
bukan ini maksudnya.
Suku utamanya adalah Melayu, namun di dalamnya terdapat
beberapa marga. Seperti halnya dulu di Arab Saudi. Mereka satu bangsa, yaitu Arab,
tapi ada suku Khazraj, Aus, dan sebagainya.
Nah,
seperti inilah pembagian suku yang ada di dalam suku Melayu, ada pembagian kecilnya
seperti suku-suku yang ada di Arab Saudi. Suku-suku tersebut seperti : Rangkayu
Bungsu, Pitopang, Chaniago dan sebagainya.
Nah, sesama
suku Rangkayu Bungsu dilarang menikah oleh adat setempat. Begitu pula sesama suku chaniago dan sebagainya. Jika lelaki dan perempuan tersebut satu suku, maka dlarang menikah menurut peraturan adat setempat. Dan apabila tetap
menikah, maka harus membayar hutang adat berupa penyembelihan kambing, dan di
beberapa daerah ada yang menyembelih kerbau bahkan ada pula di beberapa daerah
yang tidak membolehkan menikah sama sekali.
Alasan tidak
diperbolehkan menikah sesuku karena :
1. Sudah
peraturan adat setempat
2. Sudah
peraturan yang turun-temurun dari nenek moyang
3. Sebagian
daerah meyakini bahwa jika satu suku menikah, maka akan mengakibatkan kerusakan
di dalam rumah tangganya, entah itu malapetaka, sering bertengkar, cerai sampai
menyebabkan celaka.
Lalu,
bagaimana Islam memandang keyakinan seperti ini? Apakah Islam juga melarang
menikah sesuku?
Ibnu Taimiyah rohimahullah berkata di dalam
kitabnya Majmu’ Al-Fatawa :
وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ
اللَّهُ
Hukum asal adat (kebiasaan) yang ada di tengah masyarakat
tidak dilarang selama tidak dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (tidak
bertentangan dengan perintah Allah). (Majmu’ Al-Fatawa, jilid 4 halaman
196).
Berdasarkan perkataan Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah di
atas, bahwa asal hukum tradisi di dalam Islam itu boleh, selama tidak bertentangan
dengan perintah Allah, baik dari Al-Qur’an, maupun hadist Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Begitu juga dalam masalah pernikahan sesuku, pada asalnya
menikah dengan siapapun boleh, baik nikah dengan suku manapun, dari negara apapun
bahkan menikah satu sukupun tidak dilarang di dalam Islam.
Akan tetapi adat istiadat di suatu daerah menikah melarang
menikah sesuku dengan alasan bahwa ini adalah peraturan adat yang telah dibuat
oleh nenek moyang terdahulu dan tidak boleh dilanggar oleh cucu kemenakannya.
Allah berfirman :
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ
نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا
يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
Dan apabila dikatakan kepada mereka : "Ikutilah apa
yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab : "Tidak, tetapi kami
hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang
kami". "Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (QS.
Al-Baqarah : 170).
Bahkan masyarakat di beberapa daerah sampai berkeyakinan, jika
menikah sesuku tetap dilakukan, maka bisa mendatangkan bencana dalam rumah
tangganya. Padahal, yang bisa mendatangkan manfaat dan mudorot itu hanya Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja.
Allah berfirman :
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ
ۚ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا
مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah : "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan
bagi diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah.
Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah
pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang
beriman". (QS. Al-A’raf : 188).
Perbuatan seperti ini tentu saja melanggar syariat Islam,
karena mengharamkan apa yang dihalalkan di dalam Islam. Sebab, menikah dengan
siapapun boleh, termasuk menikah sesuku, tidak ada larangan di dalam Islam dan
tidak ada keyakinan apapun di dalam Islam. Adapun yang beredar hanyalah
khurafat (cerita bohong) yang tidak ada dasarnya sama sekali di dalam Islam.
Menikah sesuku bisa menyebabkan bencana, keykakinan
seperti ini disebut Tathayyur/Thiyaroh di dalam Islam.
Apa itu Tathayyur? Tathayyur adalah menganggap sial
sesuatu. Seperti contoh di atas, bahwa dia menganggap bahwa dengan menikah
sesuku bisa menimbulkan bahaya. Keyakinan seperti ini termasuk kesyirikan,
karena mempercayai bahwa makhluk Allah bisa mendatangkan manfaat dan mudorot.
Dari Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، ثَلَاثًا، وَمَا مِنَّا إِلَّا
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial
termasuk kesyirikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya
sampai 3 kali. Ibnu Mas’ud berkata : “Tidak ada yang bisa menghilangkan
prasangka jelek dalam hatinya. Namun Allah-lah yang menghilangkan anggapan sial
tersebut dengan tawakal.” (HR. Abu Daud, hadist no. 3910).
Ibnu Daqiq rohimahullah juga membawakan hadist
di atas di dalam kitabnya Al-Iqtirah Fii Bayaanil Isthilah dan
mengomentarinya :
أخرجه أَبُو دَاوُد وَابْن مَاجَه وَالتِّرْمِذِيّ وَصَححهُ
Dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dan
dia (Imam At-Tirmidzi) menshahihkannya. (Al-Iqtirah Fii Bayaanil Isthilah,
jilid 1 halaman 125).
Untuk itu, hendaknya seorang muslim tidak meyakini seperti
yang diyakini oleh beberapa daerah seperti yang disebutkan di atas, karena
keyakinan tersebut termasuk kesyirikan di dalam Islam.
Kesimpulan
:
1. Islam
tidak melarang menikah dengan siapapun, dengan suku apapun dan negara manapun.
Yang penting sama-sama beragama Islam dan sama-sama baligh dan berakal.
2. Tardisi
larangan menikah sesuku itu bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemuka
adat selayaknya merevisi kembali peraturan adat yang berlaku di daerah
tersebut.
3. Islam
melarang menganggap sesuatu sebagai pembawa sial, karena semua terjadi atas
izin Allah.
4. Tidak
boleh meyakini bahwa makhluk bisa mendatangkan manfaat dan mudorot, karena yang
bisa mendatangkan manfaat dan mudorot hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
5. Keyakinan
bahwa menikah sesuku bisa mendatangkan bahaya termasuk Tathayyur dan Tathayyur
termasuk kesyirikan di dalam Islam. Untuk itu, hendaknya seorang muslim menjauhi
keyakinan seperti ini dan belajar aqidah, agar aqidahnya tidak tercampur dengan
keyakinan nenek moyang, ataupun tidak tercampur dengan aqidah yang bertentangan
dengan syariat Islam.
Semoga
bermanfaat.
Penulis :
Fastabikul Randa Ar-Riyawi