Pertanyaan :
Assalamu'alaikum ustadz, saya ingin
bertanya tentang "Nafkah" dan "Uang Belanja (untuk makan
sehari-hari)" dari suami, apakah kedua hal tersebut berbeda? karna saya
pernah baca dari suatu artikel islami, bahwa nafkah itu dikhususkan untuk
keperluan pribadi istri (pakaian, make up, dll). Mohon penjelasannya ustadz
syukron
Dari : Annisa
Dijawab oleh : Fastabikul Randa Ar-Riyawi حفظه الله تعالى melalui tanya jawab grup
Kajian Whatsapp
Wa'alaikumussalam Warohmatullahi Wabarokatuh.
Menafkahi
istri adalah kewajiban seorang suami di dalam Islam sehingga jika seorang suami
tidak menafkahi istrinya, maka dia mendapat dosa disebabkan tidak memenuhi
kewajibannya sebagai seorang suami. Suami merupakan pemimpin di dalam rumah
tangga, sehingga nafkah istri wajib dia penuhi dan wajib memenuhi kebutuhan lainnya
selain nafkah lahiriyah.
Allah
berfirman :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ
رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan. (QS. At-Thalaq : 7).
Dari
Mu'awiyah rodhiyallahu 'anhu berkata, bahwa dia bertanya kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا
عَلَيْهِ؟، قَالَ: أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا
تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت
Saya
berkata : “Wahai Rasulullah, apah hak seorang istri salah seorang di antara
kami dari suaminya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
“Engkau memberinya makan sebagaimana engkau makan. Engkau memberinya pakaian
sebagaimana engkau berpakaian atau engkau usahakan dan engkau tidak memukul
istrimu di wajahnya, dan engkau tidak menjelek-jelekkannya serta tidak
memboikotnya selain di rumah.” (HR. Abu Daud, no. 2142).
Imam
Al-Baghawi rohimahullah menuqil pendapat Abu Sulaiman Al-Khittobi bahwa
beliau (Abu Sulaiman Al-Khittobi) mengomentari hadist yang diriwayatkan Abu
Daud di atas sebagaimana disebutkan di dalam kitab Syarhus Sunnah :
فِي هَذَا إِيجَاب النَّفَقَة وَالْكِسْوَة لَهَا، وَهُوَ على
قدر وُسع الزَّوْج
Di dalam
hadist ini menunjukkan wajibnya bagi seorang suami menafkahi dan memberi
pakaian istrinya. Dan besar nafkahnya sesuai dengan kemampuan suami. (Syarhus
Sunnah, jilid 9 hal. 160).
Oleh
karnanya, nafkah itu wajib ditunaikan oleh suami kepada istri sebagai bentuk
tanggung jawab kepada keluarganya.
Lalu
bagaimana dengan uang belanja? Samakah dengan uang nafkah?
Sekilas
memang tidak sama. Uang nafkah untuk makan sehari-hari, sedangkan uang belanja
untuk keperluan diri sendiri. Untuk mempercantik diri. Seperti membeli baju
misalnya, sandal, make up dan sebagainya.
Akan
tetapi ini semua dikembalikan lagi kepada suami. Apakah suaminya mampu
memberikan nafkah lebih kepada istri atau tidak.
Jika sang
suami mampu, maka pisahkan antara uang nafkah dan uang belanja. Namun jika
suami tidak mampu, maka bersabarlah dan sisihkan sedikit uang nafkah, kumpulkan
untuk belanja keperluan pribadi dan sebagainya. Tentunya dengan meminta izin
kepada suami.
Namun
pada zaman ini saya rasa, para suami bisa membedakan keduanya. Mereka
memisahkan antara uang nafkah dan uang belanja.
Sehingga
jika istrinya mau membeli baju dan sebagainya, maka uangnya akan diberikan atau
membeli barang yang diinginkan secara bersamaan.
Saya rasa
inilah kenyataan pada saat ini. Namun balik lagi, sesuai dengan kemampuan
suami.
Jika
suami tidak mampu, maka diusahakan tidak menuntut yang macam-macam karena bisa
membebaninya.
Semoga
bisa dipahami.
Wallahu
Ta'ala a'lam.