Banyak di antara kaum muslimin yang masih nyinyir dalam masalah mencium tangan ustadz ataupun kiyai, mereka menganggap bahwa perbuatan itu tidaklah dianjurkan, padahal ulama-ulama salaf terdahulu melakukan hal ini, namun karena keterbatasan ilmu mereka, akhirnya mereka menghukuminya dengan cepat, ada yang mengatakan haram disebabkan membungkuk badan dan ini dilarang di dalam Islam.
Sungguh argumen seperti itu
adalah argument yang ngawur dan tidak berdasar sama sekali, karena argument tersebut
menyelisihi apa yang dilakukan oleh sahabat dan ulama-ulama salaf terdahulu.
Dalil-dalil tentang bolehnya
mencium tangan orang yang sholeh :
Telah menceritakan kepada
kami Yazid bin Abi Ziyad :
أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ
أَبِي لَيْلَى حَدَّثَهُ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ حَدَّثَهُ، أَنَّهُ
كَانَ فِي سَرِيَّةٍ مِنْ سَرَايَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: فَحَاصَ النَّاسُ حَيْصَةً، فَكُنْتُ فِيمَنْ حَاصَ قَالَ:
فَلَمَّا بَرَزْنَا قُلْنَا: كَيْفَ نَصْنَعُ وَقَدْ فَرَرْنَا مِنَ الزَّحْفِ
وَبُؤْنَا بِالْغَضَبِ؟ فَقُلْنَا: نَدْخُلُ الْمَدِينَةَ فَنَتَثَبَّتُ فِيهَا
وَنَذْهَبُ وَلَا يَرَانَا أَحَدٌ. قَالَ: فَدَخَلْنَا فَقُلْنَا: لَوْ عَرَضْنَا
أَنْفُسَنَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنْ كَانَتْ
لَنَا تَوْبَةٌ أَقَمْنَا، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ ذَهَبْنَا. قَالَ:
فَجَلَسْنَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ صَلَاةِ
الْفَجْرِ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ فَقُلْنَا: نَحْنُ الْفَرَّارُونَ
فَأَقْبَلَ إِلَيْنَا فَقَالَ: «لَا. بَلْ أَنْتُمُ الْعَكَّارُونَ». قَالَ:
فَدَنَوْنَا فَقَبَّلْنَا يَدَهُ، فَقَالَ: «إِنَّا فِئَةُ الْمُسْلِمِينَ»
Bahwa
Abdurrahman bin Abu Laila telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar
telah menceritakan kepadanya bahwa dia pernah berada dalam kesatuan militer
diantara kesatuan-kesatuan militer Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia
berkata : kemudian orang-orang melarikan diri, dan aku termasuk orang-orang
yang melarikan diri. Kemudian tatkala kami nampak, maka kami mengatakan : apa
yang akan kita lakukan? Sungguh kita telah lari dari peperangan dan kita
kembali dengan kemurkaan. Lalu kami katakana : kita akan masuk Madinah kemudian
kita tinggal padanya dan pergi sementara tidak ada seorangpun yang melihat
kita. Kemudian kami masuk Madinah, lalu kami katakana : seandainya kita
menyerahkan diri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila kita
mendapatkan taubat maka kita tinggal di Madinah dan seandainya tidak demikian
maka kita akan pergi. Ibnu Umar berkata : kemudian kami duduk menunggu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum Shalat Subuh. Kemudian tatkala
beliau keluar maka kami berdiri menuju kepadanya dan kami katakan; kami adalah
orang-orang yang melarikan diri. Lalu beliau menghadap kepada kami dan berkata :
“Tidak, melainkan kalian adalah orang-orang yang kembali berperang.” Ibnu Umar
berkata : kemudian kami mendekat dan mencium tangan beliau. Lalu beliau
berkata: “Kami adalah kelompok orang-orang muslimin. (HR. Abu Dawud, hadist no.
2647).
Di dalam kitab Al-Musnad
Al-Jami’ disebutkan bahwa pengarang menuqil perkataan Imam At-Tirmidzi :
وقال الترمذى عقبه: " حديث حسن
, ولا نعرفه إلا من حديث يزيد بن أبى زياد
Imam
At-Tirmidzi berkata : Hadist Hasan. Dan kami tidak mengetahui jalur lain kecuali
dari Yazid bin Abi Ziyad. (Al-Musnad Al-Jami’, jilid 10 halaman 726).
Dari Sofyan bin Assal berkata
:
أَنْ يَهُودِيًّا قَالَ
لِصَاحِبِهِ: اذْهَبْ بِنَا إِلَى هَذَا النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: فَقَبَّلَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالَا: نَشْهَدُ أَنَّكَ
نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Bahwa
ada seorang yahudi menuruh temannya untuk menanyakan kepada Rasulullah tentang
tujuh ayat yang pernah diturunkan kepada Musa ‘alaihis salam, setelah Rasulullah
menjawabnya, maka mereka menicum tangan dan kaki Rasulullah lalu mereka
berkata : kami bersaksi bahwa engkau adalah nabi Allah. (HR. At-Tirmidzi, Ibnul
Muqri’ di dalam Ar-Rukhshoh Fii Taqbiilil Yadi, hadist no. 4, jilid 1 halaman
61).
Sanad hadist ini kuat sebagaimana
disebutkan di dalam Arsyif Multaqo Ahlul Hadist :
وقال الحافظ في تلخيص الحبير (4/
93) إسناده قوي
Imam
Ibnu Hajar berkata di dalam Talkhis : Sanadnya kuat. (Arsyif Multaqo Ahlul
Hadist, jilid 50 halaman 301).
Apakah mencium tangan orang
sholeh khusus untuk baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja?
Jawabannya tidak, karena Zaid
bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas.
Dari ‘Ammar bin Abi ‘Ammar
berkata :
أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ رَكِبَ
يَوْمًا، فَأَخَذَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِرِكَابِهِ، فَقَالَ: تَنَحَّ يَا ابْنَ عَمِّ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «هَكَذَا أُمِرْنَا
أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائِنَا وَكُبَرَائِنَا» ، فَقَالَ زَيْدٌ: أَرِنِي يَدَكَ.
فَأَخْرَجَ يَدَهُ، فَقَبَّلَهَا فَقَالَ: «هَكَذَا أُمِرْنَا أَنْ نَفْعَلَ
بِأَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Bahwa
Zaid bin Tsabit pernah mengendarai hewan tunggangannya, lalu Ibnu Abbas
mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Zaid berkata : “Jangan engkau lakukan
wahai anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata
: “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan (menghormati) ulama kami.”
Zaid berkata : “Kemarikanlah tanganmu”. Lalu Ibnu Abbas mengeluarkan tangannya,
kemudian Zaid menciumnya dan berkata : “Beginilah kami diperintahkan untuk memperlakukan
(menghormati) ahli bait Nabi kami shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (HR. Ibnul
Muqri’, hadist no. 30 dalam Ar-Rukhshoh Fii Taqbiilil Yadi, jilid 1 halaman
95).
Perkataan ulama tentang
bolehnya mencium tangan orang sholeh :
1. Mazhab Syafi’i
Imam An-Nawawi rohimahullah
berkata di dalam kitab Roudhotut Tholibin wa Umdatul Muftin :
وَأَمَّا تَقْبِيلُ الْيَدِ، فَإِنْ
كَانَ لِزُهْدِ صَاحِبِ الْيَدِ وَصَلَاحِهِ، أَوْ عِلْمِهِ أَوْ شَرَفِهِ
وَصِيَانَتِهِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْأُمُورِ الدِّينِيَّةِ، فَمُسْتَحَبٌّ
Adapun
mencium tangan, karena kezuhudan pemilik tangan dan kebaikannya, atau karena
ilmunya, atau kemuliannya, keterjagaannya, dan sebagainya berupa urusan-urusan
agama, maka hal itu disunnahkan. (Roudhotut Tholibin wa Umdatul Muftin, jilid
10 halaman 236).
2. Mazhab Hanafi
Ibnu ‘Abidin rohimahullah berkata
di dalam Roddul Mukhtar ‘alad Duuril Mukhtar :
(وَلَا بَأْسَ بِتَقْبِيلِ يَدِ) الرَّجُلِ
(الْعَالِمِ) وَالْمُتَوَرِّعِ عَلَى سَبِيلِ التَّبَرُّكِ
Dan
tidak apa-apa mencium tangan orang alim dan orang wara’ untuk tujuan
mendapatkan keberkahan. (Roddul Mukhtar ‘alad Duuril Mukhtar, jilid 6 halaman
383).
3. Mazhab Hambali
Ibnu Muflih rohimahullah
berkata di dalam Al-Aadaabu As-Syar’iyyah :
فَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِ الْعَالِمِ
وَالْكَرِيمِ لِرِفْدِهِ وَالسَّيِّدِ لِسُلْطَانِهِ فَجَائِزٌ
Adapun
mencium tangan orang alim dan orang dermawan karena pemberiannya, serta
pemimpin karena kekuasaannya, maka diperbolehkan. (Al-Aadaabu As-Syar’iyyah,
jilid 2 halaman 260).
Oleh karnanya mencium tangan
ustadz, kiyai, guru ngaji dan orang-orang sholeh dan alim dengan tujuan menghormati
mereka, maka diperbolehkan oleh para ulama dan didukung oleh beberapa hadist
sebagaimana yang disebutkan di atas.
Adapun yang tidak
diperbolehkan adalah apabila menyodorkan tangan terlebih dahulu dengan niat sombong,
maka hal ini yang tidak diperbolehkan oleh para ulama. Ataupun jika mencium
tangan orang kaya dengan tujuan merendah atau menghormatinya karena
kekayaannya, kemudian dia mencium dengan tujuan itu, maka ini yang tidk
diperbolehkan oleh para ulama.
Ibnu Muflih rohimahullah melanjutkan
perkataannya yang di atas di dalam Al-Aadaabu As-Syar’iyyah :
فَأَمَّا إنْ قَبَّلَ يَدَهُ
لِغِنَاهُ فَقَدْ رُوِيَ مَنْ تَوَاضَعَ لِغَنِيٍّ لِغِنَاهُ فَقَدْ ذَهَبَ
ثُلُثَا دِينِهِ
Adapun
jika dia mencium tangannya karena kekayaannya, maka dalam hal ini sebagaimana
yang diriwayatkan bahwa barangsiapa yang merasa rendah hati kepada orang kaya karena
kekayaannya, maka telah hilanglah sepertiga dari agamanya. (Al-Aadaabu As-Syar’iyyah,
jilid 2 halaman 260).
Kesimpulan :
1. Boleh mencium tangan
ustadz, kiyai, guru ngaji dan orang alim untuk menghormatinya karena ilmu dan
kemuliaannya.
2. Tidak diniatkan untuk
sombong.
3. Tidak mencium tangan
orang kaya dengan tujuan untuk mengormatinya karena kekayaannya karena hal ini
dilarang di dalam Islam.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa
Ar-Riyawi