Kata salafi palsu ulang tahun itu haram karena tasyabbuh kepada orang kafir. Dari segi hukum saja sudah terlihat salafi palsu ini bukan jurusan hukum. Kenapa? Karena hukum di dalam ilmu fiqih tidak melekat pada benda atau nama tertentu, tapi hukum melekat pada “perbuatan dalam mengerjakan sesuatu”. Contoh di atas : Ulang tahun tidak ada hukumnya karena bukan perbuatan. Tapi ketika dia merayakan ulang tahun, maka baru bisa menghasilkan hukum. Pahami qoidah ini baik-baik. Hukum tidak sembarangan bisa melekat seperti yang dikatakan salafi palsu di atas tapi hukum hanya melekat pada perbuatan dalam mengerjakan sesuatu.
Baiklah, anggap saja yang
dimaksud salafi palsu tersebut merayakannya. Dia berdalil dengan hadist nabi :
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma
berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
Siapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR. Abu
Daud, hadist no. 4031).
Kemudian dia mengatakan : Jika
ulang tahun yang dirayakan sebagai perayaan biasa (diniati mubah) saja, artinya
tidak ada niat ibadah, hukumnya haram, terlebih jika ulang tahun diniatkan sebagai
ibadah, lebih parah keharamannya. Karena ulang tahun seperti ini telah:
1. Menodai ibadah dengan
tasyabbuh dengan orang kafir.
2. Terjatuh pada perbuatan
bid’ah.
Sanggahan :
Salafi palsu ini terlalu
cepat menghukumi sesuatu, karena pengetahuan yang terbatas sepertinya. Baiklah,
dia mengatakan bahwa jika merayakan ulang tahun diniatkan biasa, maka hukumnya
haram.
Sekarang mari kita lihat
tinjauan hukumnya.
Sebuah qoidah ushul fiqh
menyebutkan :
الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum
itu berputar bersama illatnya (sebabnya), baik ketika illatnya ada maupun tidak
ada.
Artinya, sebuah hukum bisa
dihukumi boleh, makruh, haram, sunnah ataupun wajib terkadang dilihat dari
illatnya, bukan langsung dihukumi tanpa melihat tinjauan hukumnya.
Dalam hal ini hukum merayakan
ulang tahun dibagi menjadi 2 :
1. Merayakan ulang tahun,
jika dia rayakan dengan meniup lilin, pakai atribut kerucut di kepalanya
ataupun dengan kue, maka hukumnya haram karena tasyabbuh (menyerupai)
orang-orang kafir dalam merayakan ulang tahun.
Hukumnya sudah jelas-jelas
haram dan dalilnya jelas :
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma berkata, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ
Siapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR. Abu
Daud, hadist no. 4031).
2. Jika dia merayakan ulang
tahun dengan mengumpulkan teman-temannya, kemudian membuat syukuran dengan
menyembelih ayam ataupun mengajak teman-temannya makan dan kemudian berdo’a
untuk kesehatannya, diberkahi umurnya oleh Allah, maka hukumnya boleh.
Loh, kok boleh?
Bukankah kita diperintahkan
oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyelisihi
orang-orang kafir?
Tatkala Rasulullah tiba di
Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram
(Asy-Syura), kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka kenapa mereka berpuasa,
maka mereka menjawab bahwa Allah menyelamatkan orang-orang Israel pada hari
itu, maka Nabi Musa berpuasa sebagai bentuk syukur. Maka Rasulullah menjawab :
Saya lebih berhak atas Musa daripada kalian (orang Yahudi).
Lalu beliau memerintahkan para
sahabat untuk berpuasa pada tanggal 10 Muharram dan menyelisihi orang-orang
Yahudi untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram (Tasu’a), namun belum sempat
puasa beliau meninggal dunia.
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي
إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ
بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?” Mereka
menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan
bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud
syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa
daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk
pengagungan kami terhadap hari itu. (HR. Bukhari, hadist no. 2004).
Di dalam hadist lain
disebutkan :
Dari Ibnu Umar rodhiyallahu ‘anhuma
berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ: وَفِّرُوا
اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Selisihilah
kaum musyrikin, biarkanlah jenggot, pendekkanlah kumis. (HR. Bukhari, hadist
no. 5892).
Nah, hadist-hadist di atas
sudah jelas sekali bahwa baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
untuk menyelisihi orang-orang kafir, bukan tidak boleh melakukannya, tapi selisihi
dengan membuat kebaikan seperti yang diperintahkan di dalam Islam.
Nah, jika dia merayakan
ulang tahun dengan cara seperti ini, jelas-jelas menyelisihi orang-orang kafir
dan boleh hukumnya.
Kemudian salafi palsu
mengatakan bahwa merayakan ulang tahun diniatkan sebagai ibadah, jelas-jelas
tidak ada yang merayakannya dengan niat ibadah.
Memang banyak anak-anak kaum
muslimin merayakan ulang tahun dengan memotong kue, meniup lilin dan memakai
atribut ulang tahun sebagaimana orang-orang kafir, dan perayaan seperti ini
kita sepakat akan keharamannya karena menyerupai orang kafir. Adapun jika
merayakannya dengan mengumpulkan teman-temannya dan memberi makan teman-temannya
kemudian ada satu orang seperti ustadz misalnya yang mendo’akan kesehatannya
dan umurnya barokah, maka hukumnya boleh dan tidak ada unsur menyerupai
perbuatan orang kafir, malah menyelisihi orang kafir.
Salafi palsu tidak paham dan
tidak mengerti membedakan apa yang disebut ibadah dan apa yang disebut dengan
budaya.
Dia memasukkan ucapan
selamat dengan do’a : Baarokallahu Fii Umrik dinilai lebih kental ibadahnya.
Sudah ketahuan dia tidak paham
apa itu ibadah. Apa itu ibadah?
Imam Ibnu Taimiyah rohimahullah
berkata :
العبادة هي: اسم جامع لكل ما يحبه
الله ويرضاه من الأقوال والأعمال الباطنة والظاهرة.
فالصلاة، والزكاة، والصيام، والحج،
وصدق الحديث، وأداء الأمانة، وبر الوالدين، وصلة الأرحام، والوفاء بالعهود، والأمر
بالمعروف، والنهي عن المنكر، والجهاد للكفار والمنافقين، والإحسان للجار واليتيم
والمسكين، والمملوك من الآدميين والبهائم، والدعاء، والذكر، والقراءة، وأمثال ذلك
من العبادة، وكذلك حب الله ورسوله وخشية الله والإنابة إليه، وإخلاص الدين له،
والصبر لحكمه، والشكر لنعمه، والرضاء بقضائه، والتوكل عليه، والرجاء لرحمته،
والخوف من عذابه، وأمثال ذلك من العبادة
Ibadah
adalah sesuatu yang mencakup segala yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik
berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak
(lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah,
berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan
orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang
miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik
kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a,
berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari
ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah,
inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya
untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas
nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya,
mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain
sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah. (Syarah
Risalah Al-‘Ibudiyyah, jilid 1 halaman 8).
Coba perhatikan perkataan
Imam Ibnu Taimiyah di atas. Beliau membagi ibadah kepada 2 perkara, yaitu
ibadah secara zohir dan batin.
Ibadah yang zohir
(lahiriyah) seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya.
Adapun ibadah batin (tersembunyi)
seperti keimanan, rasa cinta kepada Allah, tawakal dan sebagainya juga termasuk
ibadah, tapi ibadah batiniyyah.
Oleh karnanya para ulama
membagi lagi ibadah menjadi 2, jika di atas pembagian ibadah digambarkan secara
fisik, maka ulama lainnya membagi ibadah secara umum. Terbagi menjadi 2 :
1. Ibadah Mahdhoh (yang murni),
biasanya terikat syarat dan rukun. Murni dari Allah. Seperti shalat, puasa,
zakat dan sebagainya.
2. Ibadah Ghoiru Mahdhoh
(yang tidak murni) dari Allah, tapi jika dilakukan dan diniatkan karna Allah,
maka berpahala. Seperti takut kepada Allah, tawakal, bersyukur kepada Allah dan
sebagainya.
Kembali kepada pembahasan
awal, yaitu ucapan “Baarokallahu Fii Umrik” saat ulang tahun. Termasuk ibadah
Mahdhoh atau Ghoiru Mahdhoh? Tentunya termasuk ibadah yang ghoiru mahdhoh,
karena tidak terikat syarat dan rukun. Oleh karnanya, jika diucapkan, dia
mendapat pahala karena mendo’akan kebaikan untuk saudaranya.
Bukan seperti yang dikatakan
salafi palsu, mengucapkan do’a seperti itu termasuk bid’ah karena termasuk ibadah.
Iya termasuk ibadah, tapi ibadah yang mana dulu? Jika kalian mengatakan bid’ah
hanya dalam agama saja, berarti yang kalian maksud adalah ibadah mahdhoh. Sedangkan
ucapan do’a seperti itu ibadah yang ghoiru mahdhoh. Dan bid’ah dikatakan bid’ah
jika dalam perkara yang dibuat seperti ibadah mahdhoh saja. Sedangkan perkara
yang dibuat dalam perkara ibadah ghoiru mahdhoh, maka bukan dikatakan bid’ah.
Contoh : Belajar di sekolah agama untuk mempelajari Islam, seperti Pesantren-Pesantren
dan sekolah Islam lainnya. Ini tidak ada di zaman Rasulullah. Apakah termasuk
bid’ah? Jawabannya tidak karena tidak termasuk ibadah mahdhoh tapi ibadah
ghoiru mahdhoh.
Kesimpulannya :
1. Mengucapkan do’a : “Baarokallahu
Fii ‘umrik” pada saat ulang tahun tidak mengapa, bukan termasuk bid’ah, karena dikatakan
bid’ah jika dia membuat ibadah seperti ibadah mahdhoh saja, sedangkan ucapan do’a
itu termasuk ibadah ghoiru mahdhoh.
2. Merayakan ulang tahun
tidak langsung dikatakan haram, karena apa yang dia lakukan belum tentu
menyerupai kaum kafir. Ingat, yang menjadi tolak ukur tasyabbuh itu bukan hanya
karena dia ikut merayakan, tapi apakah di dalam perayaan itu sama atau tidak
dengan perayaan yang dibuat orang kafir. Ini juga harus diukur.
3. Menyelisihi orang kafir
itu diperintahkan oleh Rasulullah, bukan malah meninggalkannya. Boleh jadi
ketika ada seorang muslim merayakan dengan cara kumpul-kumpul, dan membuat
syukuran, kemudian dibimbing seorang ustadz untuk mendo’akan kesehatan dan mendo’akan
umur yang barokah kepada Allah, dan dilihat oleh teman-temannya yang lain yang
sebelumnya merayakan ulang tahun seperti perayaan orang kafir, dan perayaan
tersebut ditinggalkan dan mengubah konsepnya seperti cara yang dibuat temannya,
maka ini baik dan tidak lagi mengikuti cara orang kafir.
Jangan bermudah-mudah
menghukumi sesuatu, tinjau dulu hukumnya dari berbagai sudut pandang, jangan
hanya dari satu sudut pandang. Jangan bermudah-mudah mencap amalan kaum
muslimin sebelum mempelajari dan meninjau hukum-hukumnya.
Semoga bermanfaat.
Penulis : Fastabikul Randa Ar-Riyawi