Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi foto dari hasil kamera ataupun gambar secara umum.
Beberapa
pendapat ulama yang membolehkannya :
1. Syekh Yusuf
Al-Qorodhowi berkata di dalam kitabnya Al-Fiqhu Al-Islamy wa Adillatuhu:
أما التصوير الشمسي أو الخيالي فهذا
جائز، ولا مانع من تعليق الصور الخيالية في المنازل وغيرها، إذا لم تكن داعية
للفتنة كصور النساء التي يظهر فيها شيء من جسدها غير الوجه والكفين
Adapun hukum gambar dari
hasil kamera hukumnya boleh dan tidak dilarang, selama tidak mendatangkan
fitnah seperti gambar wanita yang tampak sesuatu dari jasadnya selain wajah dan
kedua telapak tangan. (Al-Fiqhu
Al-Islamy wa Adillatuhu, jilid 4 halaman 2676).
Syekh Yusuf
Al-Qorodhowi mengatakan bahwa mengambil foto dengan kamera itu boleh hukumnya
selama tidak terdapat fitnah di dalamnya.
2.
Syekh Muhammad Ali As-Shobuni berkata di dalam tafsirnya Rowa’iul Bayaan Ayat
Ahkaam :
وقال الإمام النووي: إنَّ جواز
اتخاذ الصور إنما هو إذا كانت لا ظل لها، وهي مع ذلك مما يوطأ ويداس، أو يمتهن
بالاستعمال كالوسائد.
وقال العلامة ابن حجر في شرحه للبخاري:
«حاصل ما في اتخاذ الصور إنها إن كانت ذات أجسام حَرُمَ بالإجماع، وإن كانت رقماً
في ثوب فأربعة أقول:
الأول: يجوز مطلقاً عملاً بحديث إلا
رقماً في ثوب.
الثاني: المنع مطلقاً عملاً
بالعموم.
الثالث: إن كانت الصورة باقية
بالهيئة، قائمة الشكل حرم، وإن كانت مقطوعة الرأس، أو تفرقت الأجزاء جاز، قال:
وهذا هو الأصح.
الرابع: إن كانت مما يمتهن جاز
وإلاّ لم يجز، واستثني من ذلك لعب البنات
Imam Nawawi menjelaskan
bahwa boleh menggunakan gambar hanya ketika tidak memiliki bayangan, selain itu
gambar tersebut juga biasa diinjak atau direndahkan penggunaannya, seperti
bantal.
Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
saat mensyarahi kitab Imam Bukhari mengatakan : Kesimpulan dalam penggunaan
gambar bahwa sesungguhnya jika gambar memiliki bentuk tubuh (jism) maka haram
secara ijma’. Jika gambar hanya sebatas raqm (gambar) dalam baju,
maka terdapat empat pendapat :
Pertama : boleh secara
mutlak, berdasarkan redaksi hadits illa raqman fits tsaubi (kecuali
gambar dalam baju).
Kedua : haram secara mutlak,
berdasarkan keumuman redaksi hadits.
Ketiga : jika gambarnya dapat
menetap dengan keadaan yang dapat berdiri sendiri, maka hukumnya haram. Namun
jika gambarnya terpotong kepalanya atau terpisah bagian tubuhnya maka boleh.
Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang ashah (paling kuat).
Keempat : jika gambarnya
merupakan gambar yang dianggap remeh maka diperbolehkan, jika tidak dianggap
remeh (diagungkan misalnya) maka tidak diperbolehkan. Dikecualikan dari
permasalahan di atas adalah mainan anak kecil. (Rowa’iul Bayaan Ayat Ahkaam, jilid 2 hal. 415).
Oleh
karna itu bisa disimpulkan bahwa menggunakan aplikasi FaceApp itu boleh
hukumnya menurut ulama di atas. Karna sekalipun ada fitur untuk merubah wajah
di aplikasi tersebut, maka fokus hukumnya adalah ke hukum foto bukan ke hukum
editingnya. Dia bebas memilih dirinya mau seperti apa. Yang bermasalah itu jika
merubah dirinya secara langsung karena mengubah ciptaan Allah, sementara jika
dia mengedit foto, yang berubah fotonya, sementara dirinya tidak berubah sama
sekali.
Titik fokus hukumnya ada di
hukum foto, bukan pada hukum editingnya. Namun sebagai seorang muslim hendaknya
jangan mengedit wajah dengan bentuk yang aneh-aneh seperti mengedit foto dan
mengubahnya menjadi wanita kemudia di share. Kecuali hanya sekedar untuk
iseng-iseng saja. Ini kayak mana sih cara kerja aplikasinya, lalu dia
mencobanya dan setelah itu dicoba lagi yang lain, namun jangan di share karena
bisa menimbulkan persepsi lain bagi orang yang melihatnya. Dan sangat tidak
dianjurkan untuk mengubah hal-hal seperti itu, meskipun hukumnya boleh. Akan
tetapi mengedit-edit foto di aplikasi FaceApp tidak ada manfaatnya sama sekali.
Alangkah lebih baiknya melakukan perbuatan yang jauh lebih bermanfaat daripada
itu.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
‘anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مِنْ
حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di
antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat
baginya. (HR. At-Tirmidzi no. 2317).
Tidak semua yang boleh
berarti bebas melakukannya, semua ada aturan dan batasnya. Semua diatur di
dalam Islam, dari hal terkecil sampai hal terbesar sekalipun.
Penulis : Fastabikul Randa
Ar-Riyawi